Selasa, 31 Maret 2009

Merobok Gerobok Lubang Dara; Susu Menitik, Rusak Iman Penjaga

Merobok Gerobok Lubang Dara; Susu Menitik, Rusak Iman Penjaga

Pukul tiga pagi. Mendadak keheningan terkoyak. Kegaduhan meruyak. Oleh sesama tahanan, semua yang lagi enak-enaknya tertidur dibangunkan dan dipaksa berdiri. Yang malas, disepak dan ditunjang.

Pagi itu, enam tahanan India Malaysia anggota komplotan perampok mobil tengah menanti saat-saat dipindahkan ke lokap lain. Konon, telah tiga bulan mereka menghuni lokap Balai Polis Puchong. Ribut itu memang sudah tampak di depan mata ketika beberapa tahanan mulai gelisah ke sana gelisah kemari; mondar mandir melangkah melocok lokap. Akhirnya, terang-terangan mereka bilang jika mereka tengah menunggu kiriman tembakau senilai RM 1300 yang konon pula mereka titipkan melalui seorang sipir. Mereka uring-uringan. Pasalnya, tembakau tak kunjung tiba sementara waktu terus bergulir. Dua orang sipir penjaga kelimpungan. Seperti rusa masuk kampung, sipir kebingungan dan mengaku tak tahu menahu soal itu. Juga tak ada saksi independen yang dapat mengkonfirmasi bahwa transaksi tembakau memang benar-benar telah terjadi antara tahanan dan polisi. Dengan kata lain, biar teriak-teriak sampai urat leher keluar, tembakau tetap tak akan datang.

Tak tanggung-tanggung, terompet tempur diembus; tambur dan genderang perang ditabuh bertalu.

Sebagai upaya untuk menekan polisi, seorang tahanan India Malaysia dengan beringas menunjang bahu Ulul Ulema tahanan warga Bangladesh. Ulul semaput. Oyong; sempoyongan; nyaris tersungkur. Jatuh terduduk. Bersila. Kini Ulul merupakan satu-satunya penghuni yang duduk; posisi tubuh yang gampang diserang; rentan terhadap hantaman susulan. Mata ketap-ketip; kepala menunduk. Nafasnya senin kamis. Lirih Ulul merintih; melenguh pilu dan menyayat. Tapi tidak minta ampun. Hanya kristal air mata menetes tipis di pangkal hidung mancungnya. Air mata pilu. Sipir berusaha membujuk si penyiksa seraya berkata, “Itu orang tak bersalah.” Panik terdengar sangat kental dalam suaranya. Manikam sudah jadi sekam; himbauan sipir tak digubris. Anjuran yang tak manjur. Maklumat itu justru bak mengipas api yang telah mulai menyala. Bara amuk amarah kian memerah beranang memanggang lokap. Sambil terus mengomel, satu kali lagi maniak itu menendang keras Ulul sehingga mangsa terjengkang ke samping dan hampir terkapar. Selanjutnya dua sipir dan geng tahanan ribut adu mulut sentak-menyentak.

Terprovokasi, seorang sipir lepas kendali; coba menguji nyali. Dengan muka merah padam penuh amarah, bergegas ia hendak membuka kunci gembok dan melabrak masuk ke ruang tahanan. Beruntung, satu-satunya rekan sipir yang ada mencegahnya. Demi menyaksikan itu, pikiran-pikiran tak elok berkecamuk dalam benakku. Andai dia masuk, terawangku, tumpah darah. Kawanan homo homini lupus liar nan sadis dalam kerangkeng menyalak dan siap mengeroyok; mencabik-cabiknya sampai dedel duel. Mangkat, pergi dan tak kan pernah kembali, pulang tinggal nama. Tak perlu kau bayangkan apa yang akan terjadi andai dia tak dicegah, bisik pikiran warasku. Kupalingkan hatiku dari pikiran yang bukan-bukan. Tindakan pencegahan tersebut merupakan keputusan yang tepat menurut kondisinya, karena mereka berdua kalah dalam jumlah.

Demi menyaksikan sipir kalang kabut, kembut, gentar dan mati kutu, tahanan merasa berada di atas angin. Mereka kian leluasa meluapkan emosi, menurutkan kehendak hati yang keblinger. Mereka pun meningkatkan tekanan. Teror ditebar. Amarah diumbar. Sesekali sumpah serapah membahana menghentak gendang telinga. Mencak-mencak berkacak pinggang, India Malaysia mengeluarkan jurus baru. Timbul rasa takutku ketika mereka mulai melancarkan serangan psikologis.

“Jika sampai pukul enam tembakau tak ada, akan ada tahanan yang berdarah-darah pecah kepala. Entah itu Bangla atau Indon,” ancam salah seorang garang dengan tangan terkepal dan mata mendelik.

Aku terkesima ketika menyadari betapa dengan jitunya mereka tahu bahwa titik lemah pada sistem keamanan lokap itu adalah kami. Warga Bangladesh dan Indonesia berada di ujung tanduk. Hormon adrenalinku mengalir deras; keras mendegub jantung. Perasaan takutku itu sendiri laksana sesuatu makhluk bernyawa yang mengaduk-aduk isi perutku dan membuatku kram di dada. Tidak perlu menunggu lama, resiko terdampak sasaran pelampiasan amuk dalam histeria massal itu meningkat dalam hitungan detik. Kecuali kopok bertungkik dan pekak, semua yang masuk ke dalam dua kelas ini pasti bergidik. Bohong kalau tidak!

Suasana kian mencekam. Lokap gonjang-ganjing; riuh rendah menggetar alam. Punai, tiung dan gagak di luar turut bertingkah menyemangati, lantam bersiul senandungkan gita puja kematian. Merinding aku.

Geng Cina dan Melayu turut menyemak. Ikut-ikutan mereka bertingkah; berbuat onar. Merepet bak untaian petasan disulut pada perayaan Pesta Musim Semi (Tahun Baru Imlek). Tak syak, umpatan dan caci maki congkak dengan leluasa labas menerabas masuk ke dalam indra rungu. Banduan penyamun mengancam dengan suara yang jelas dan nyaring kedengaran. Kelak, sekeluar mereka dari penjara, mereka akan memburu sipir perecok itu walau sampai ke ujung pelusuk dunia sekalipun; untuk menagih piutang pokok ditambah bunga; bunga berbunga. Plus denda. Mereka bersumpah akan berkekalan mempersusah hidup sipir si pemakan bangkai pengudap nanah karena tagihan akan jauh melampaui kemampuan membayarnya.

Malam belum berakhir; pekik yel-yel untuk tidak menerima jatah makan pagi mulai berkumandang. “Kami tidak mau makan! Kami akan tumpahkan semua nasi dan minuman ke lantai! Tak satu orang pun boleh membantah! Kami mau tembakau! Tembakau!!!” Dari subuh hingga terang tanah, gaung tuntutan kian lantang menjadi-jadi. Teriakan-teriakan “Kami mau tembakau! Tembakau! Tembakau! Tembakau!” seakan tak pernah berhenti terucap nyaring dari setengah tahanan secara serempak dengan artikulasi lisan yang teramat fasih bagi pesakitan.

Bak menegakkan benang basah, tekanan demi tekanan yang mereka lakukan bertubi-tubi tidak kunjung membuahkan hasil. Sampai penghujung tenggat yang mereka tetapkan secara sepihak, tembakau tetap tak datang. Tahanan mulai kehabisan tenaga. Lambat laun mereka mengendorkan tekanan. Ketegangan berangsur mereda. Para tahanan urung melaksanakan ancaman. Mereka kalah. Satu per satu banduan, terutama yang tidak andil aktif dalam keributan, mulai tampak beringsut dan duduk-duduk kembali. Unggas di luar – burung-burung yang tidurnya terganggu karena dikejutkan oleh aksi-aksi teatrikal dalam lokap yang menggegerkan sepanjang sepertiga malam terakhir – pun sudah berhenti bernyanyi.

Tekanan berangsur surut dan akhirnya lenyap begitu saja tanpa meninggalkan bekas. Oalah! Inilah bagian paling aneh dari drama satu babak yang sempat mengharu biru seisi lokap dan alam sekitar. Bagai kemarau semusim sirna oleh hujan sehari, situasi lokap sangat terasa adem. Kemana pula perginya kesombongan para perusuh? Kok melempem? Malahan, bak kena tenung penyihir, ancaman berubah menjadi bujukan memelas. Merayu syahdu banduan bagai kucing kurap tak bertuan mengeong lantunkan syair kelaparan agar catu makan pagi segera dibagikan. Bertepuk sebelah tangan. Permohonan yang sia-sia. Membusung dada, sipir menolak untuk membagi makanan. Nasi bungkus dibiarkan teronggok begitu saja di atas lantai ambang pintu.

Saat Sang Surya sepenggalah, beberapa petugas kepolisian telah tampak berjaga-jaga dalam persiapan pemindahan tahanan. Di dalam lokap, sebagian tahanan yang tinggal melepas rekan-rekan yang akan dipindahkan dengan peluk, tepuk-tepuk punggung, dan salam khas kemenangan; tangan saling genggam di depan dada sampai setinggi kepala dalam formasi adu panco; simbol simpul kebersamaan. Berbekal nomor kontak serta nama dan alamat, mereka berjanji untuk kelak saling mencari sampai berjumpa di alam bebas untuk mempertegas eksistensi dan jati diri mereka dalam rimba bergajulan. Kini tiba waktunya pintu lokap dibuka, tahanan yang akan berpindah dikeluarkan dari lokap, baju dan sepatu dikenakan, gari digelangkan, dan mereka digelandang keluar balai. Agak lama berselang, setelah pembawaan sipir secara umum terlihat tenang, jatah sarapan pagi pun diberikan kepada seisi lokap yang masih tinggal.

Boleh jadi, tembakau pesanan telah sampai ke tangan banduan ketika mereka dalam perjalanan transfer ke lokap lain. Jika tidak, tentu keributan berlanjut. Demikian selentingan yang kuterima. Namun bisa juga, hematku, tembakau tidak pernah sampai mereka terima. Mereka hanya diperalat. Sipir kurir tidak mau lurus hati membagi hasil secara ikhlas dari usaha kerjasama mereka menyatroni uang dan barang tahanan-tahanan lain. Sipir pedagang telah menipu kelompok tahanan penyamun mentah-mentah. Lantaran kepepet kebutuhan hidup yang kian menghimpit dan membelit, dia jadi gelap mata; nekat menilap uang haram milik banduan penyamun. Berkenaan dengan tidak berlanjutnya huru hara, sangat mungkin karena tahanan telah memperhitungkan kekuatan yang mereka miliki. Mereka tahu diri. Seiring dengan perjalanan waktu fajar hingga matahari menjelang, anggota kepolisian Balai Polis Puchong kian banyak yang datang. Pada babak ini, nyali banduan kembut; satu per satu mereka surut. Kalau sudah tahu pasti kalah, untuk apa pergi perang. Teka teki yang belum dapat kupecahkan.

Apapun yang sesungguhnya terjadi, tampaknya kedua belah pihak sudah punya gentleman agreement; tahu sama tahu untuk tahu diri. Truce. Cease fire. Lebih-lebih, tak ada dera rotan terhadap pemicu dan pelaku huru hara yang mengoyak lokap dini hari tadi. Hanya sayang, tidak ada pampasan maupun kompensasi yang diberikan bagi Ulul Ulema pada khususnya dan warga Negara Bangladesh dan Indonesia pada umumnya. Pun sekadar kata maaf tiada terucap. Karena, mereka menganggap, harga diri dan nilai nyawa manusia dari kedua negeri Muslim ini memang lebih murah dari ongkos setepek tembakau. Jangankan hak, nyawa banduan asing tak sepenuhnya dapat dilindungi oleh sipir. Mampus pun kami, tidaklah mereka akan hirau. Mengejutkan sekaligus memalukan.

* * *

Setiap selepas makan, penghuni lokap “gotong royong” bahu membahu menyapu membersihkan lantai. Berarti lokap disapu sedikitnya tiga kali sehari; yakni setelah makan pagi, makan siang, dan makan petang hari. Sekali dari tiga waktu tersebut juga dimanfaatkan untuk mop. Dominasi kelompok yang kuat terhadap individu yang lemah membuat kerjasama orang tahanan berlumus kekerasan dan tekanan. Nyaris segenap pekerjaan menyapu dan mengepel lokap dilakukan oleh warga asing, di bawah pengawasan ketat anggota geng yang seluruhnya warga Malaysia; Cina, India, Melayu.

Ruang sipir juga disapu dan dipel. Akan tetapi pekerjaan yang satu ini dilakukan dengan “sukarela” oleh para petinggi geng. Semula kupikir mereka menggarapnya hanya sekedar angkat telor alias cari muka; menjilat pantat dan menghamba untuk berburu credit point belaka. Ternyata bukan. Dugaanku meleset. Motif ekonomilah penggeraknya. Fungsi sebenar mereka adalah sebagai fund-raiser. Selaku penggalang dana, kesempatan itu secara optimal mereka manfaatkan untuk menggerayangi, menjarah, dan menggasak uang dan barang-barang berharga lainnya yang dapat diuangkan milik penghuni lain yang tersimpan secara tidak aman dalam loker pigeon holes yang tak berkunci; mereka sapu bersih semuanya; untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Bukan serakah, tetapi ini adalah salah satu manifestasi dari the art of survival and of becoming someone dalam penjara. Penjarahan demi penjarahan atas harta milik sesama tahanan adalah wujud motivasi kecintaan unik dari sejumlah tahanan penyamun terhadap tembakau.

Sikit sikit lama lama jadi bukit, demikian pesan orang bijak. Dan wang pun terdulang dalam jumlah tak berbilang. Selanjutnya mereka pakai uang itu untuk belanja. Karena bukan orang bebas yang bisa dengan seenak perut bludas-bludus keluar masuk dan berbelanja kapan dan di mana saja yang memungkinkan mereka mendapatkan barang bagus dengan harga terbaik, mereka menempah barang-barang keperluan mereka melalui sipir. Barang-barang yang dapat dipesan beragam; sabun, bedak, berus dan ubat gigi, handuk, obat-obatan medis, dan tembakau. Tak boleh panjar karena tidak akan dilayani. Semua pesanan wajib bayar dimuka. Di lain pihak, sipir kurir – disamping meraup selisih harga barang yang cukup tinggi – juga menyepah uang sirih yang tidak sedikit; karena barang-barang yang ia sediakan merupakan barang-barang inferior dengan harga premium. Itu cara dia berbisnis menghasilkan uang untuk memperbaiki nasib di tengah gelombang besar konsumerisme.

Perilaku kurang ajar yang demonstratif tahanan penyamun terhadap sipir lokap adalah sebagian akibat dari relasi interaktif yang berlebihan antara keduanya. Ketika muster, contohnya, sipir menyebut boss geng sebagai Ketua; sebaliknya geng menyeru sipir sebagai Boss.

“Mana ketua?”

“Ini, boss. Saya.”

“Tak ada yang disiksa semalam?”

“Tak ada, boss.”

Kubilang tahanan penyamun karena sekalipun berada dalam tahanan mereka masih leluasa menyamun. Mereka – sipir dan tahanan penyamun – menikmati hubungan yang saling mengisi. Redup sudah aura wibawa sipir di mata banduan. Dalam pada itu, ketika hubungan kedua kubu sudah tidak lagi mesra, ketika sipir mulai tergiur untuk mereguk untung lebih banyak secara tidak wajar, Ulul membayar mahal untuk sebuah konflik yang ia sendiri sama sekali tidak punya urusan kepentingan dan keterkaitan apa-apa.

Mereka bilang, karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Kubilang, karena susu menitik, rusak iman penjaga.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar