Selasa, 31 Maret 2009

Akhirnya Bantuan Datang Juga; Pinky dan Freddy Melawat

Akhirnya Bantuan Datang Juga

Senin 21 Mei 2007. Ali ada jumpa (dilawat). Lawatan yang diterima Ali merupakan berita baik yang mencerahkan bagi kami berlima. Itu menunjukkan bahwa Boss tidak berpangku tangan. Itu tandanya pihak manajemen perusahaan mulai memperhatikan nasib kami. Dengan adanya orang yang melawat, kebutuhan fisik tahanan – seperti pakaian bersih, sikat dan pasta gigi, sabun, susu, gula – lebih dapat terpenuhi. Yang lebih penting lagi, kedatangan pelawat meniupkan nafas baru. Mereka datang membawa harapan. Perasaan diperhatikan membuat kesehatan psikis kami kian membaik. Tiada kata terlambat. Lawatan oleh pihak manajemen perusahaan mengindikasikan mereka masih memiliki keinginan untuk menyelamatkan orang-orang terakhir – pegawai yang sempat mereka jadikan tumbal. Kini kami berpengharapan untuk dapat menghirup udara bebas dalam waktu yang tidak lama lagi; karena perusahaan bertanggungjawab. Harapan bebas ini tentunya berdampak positif terhadap kesehatan fisik.

Usai lawatan, Ali memberiku seporsi nasi goreng dan sebungkus biskuit tawar; kubagi habis untuk teman-teman satu sel.

* * *

Praktis selama duapuluh enam hari – terhitung sejak masuknya aku dalam tutupan Balai Polis Puchong – tak pernah sekalipun aku bersikat gigi dengan stannous fluoride. Di sepanjang lintasan masa tersebut aku hanya dapat bersugi dengan menggunakan ujung jari telunjuk. Hasilnya, rongga mulutku menjadi tak nyaman. Tiap hari berganti, remah makanan kian tebal menempel dan memenuhi segenap relung geligi. Kondisi ini memudahkan oral lactobacilli menggandakan diri dan membentuk koloni, dan kian bebas mereka berkreasi mengkoversi karbohidrat menjadi asam dalam mana garam mineral gigi mudah larut. Akibatnya, gigi-gigiku kian rapuh dan terasa linu. Sedangkan karang gigi lebih cepat tumbuh berkembang. Semakin lama air liurku semakin terasa basi, mulut kian kecut, bibir lengket mengatup bak tersaput lem. Geligi dalam mulutku kini telah menjadi tempat akumulasi bakteri dan serpih makanan membusuk.

Karena tidak dibersihkan sebagaimana mestinya, geligiku juga tidak lagi berfungsi secara optimal. Mengunyah – fungsi aktif gigiku – masih bisa kujalankan, tapi serasa kurang sempurna karena kunyahan sepertinya tak mau lumat. Demikian juga, dua fungsi pasifnya – (1) membantu dalam produksi suara dan bicara dan (2) menambah harmoni estetika mulut – terganggu. Bicara kini aku tidak lepas, lantaran khawatir dengan bau yang mengganggu lawan bicara, sehingga tak lepas bersuara. Harmoni estetika mulutku pun kurang ideal, lantaran di ambang sadar aku harus sering menyugi gigi dengan lidah; sehingga kerap mulutku mérat-mérot seperti sedang mengulum gula-gula.

Barulah pada Rabu 23 Mei 2007 setelah Arman menerima lawatan dari orang office, keadaan menunjukkan tanda-tanda membaik. Ketika pulang lawatan dan melintas di depan selku, Arman memberiku sebatang sikat gigi. Ia dapat memberiku sebatang lantaran, dia bilang, dia beli dua. Padahal, menurut aturan baku yang berlaku di penjara Sungai Buloh, banduan tidak diperkenankan berbelanja lebih dari satu unit untuk sesuatu item barang yang sama. Aku pun meminta odol darinya, tapi tidak diberi; lantaran dia cuma beli satu tube. Sementara itu, rekan-rekan satu sel denganku meminta biskuit darinya. Setelah Arman berlalu dan lenyap dari pandanganku, bersegera aku masuk kamar mandi menggosok gigi.

Inilah pertama kali aku menggosok gigi dengan sikat gigi semenjak aku masuk tahanan 27 April 2007. Kali ini pun aku masih melakukannya tanpa pasta. Ihhh, ketika gigi kugosok dan dikumur, remah makanan yang telah bermukim pada lapisan gigi menyatu dengan air berwarna merah.

Pucuk dicinta ulam tiba. Dua tiga jam berikutnya, Mamat memberiku sejumput ubat gigi yang kuminta. Sekali lagi kusikat gigiku. Kali ini dengan pasta. Berbaur dengan buih odol, cairan kental kotor merah bata masih keluar dari mulutku. Selepas berkumur sampai bersih, barulah dunia segar kurasa.

* * *

Pinky dan Freddy Melawat

Kamis 24 Mei 2007. Perhatian segenap penghuni terfokus ketika orang kerja menyebut sebuah nomor tahanan. Pagi itu nomor yang ia sebut adalah nomorku; ada pelawat yang akan menjengukku. Demi mengetahui aku ada jumpa, bersegeralah tahanan-tahanan lain mengerubutiku dan meminta aku untuk membeli barang-barang kebutuhan untuk kelak kami berbagi. Macam-macamlah permintaan mereka. Ada yang minta dibelikan odol, sabun mandi, sabun cuci, susu, gula, mentega, mie instan bahkan sampai handuk segala. Tak ketinggalan, orang kerja berpesan agar aku membeli nasi goreng dan kacang polong. “Untuk Tuan,” katanya.

Cukup banyak tahanan Blok Ehsan yang mendapat lawatan keluarga dan kerabat waktu itu. Aku lupa berapa jumlah semuanya; sekitar limabelas sampai duapuluh orang. Setelah melewati lima atau enam check-point, sampai jugalah rombongan kami di tempat pengurusan lawatan. Karena ini merupakan pengalaman pertama bagiku, aku hanya memperhatikan dan meniru tahapan-tahapan yang dilalui oleh tahanan lain.

Setelah menunggu tak begitu lama, aku tersenyum dan melambaikan tangan; menyambut kedatangan dua orang di balik kaca tebal – pemisah dunia bebas dan dunia tutupan – yang juga tersenyum dan melambaikan tangan. Kedua orang itu adalah Pinky dan Freddy. Dari kami berlima satu kasus, aku yang mereka tandang paling belakang. Ali dibesuk tanggal 21/5; Arman 23/5. Sementara itu, Listia dan Dio di Penjara Kajang dilawat tanggal 21/5.

Melalui sepasang phone-set, kami berbicara. Pinky yang memulai.

“Halo, apa kabar?” tanya Pinky. Aku hanya tersenyum getir. “Oke?” kejarnya lagi.

“Di penjara, tak okelah,” jawabku.

Ada yang pukul?”

“Oh, tidak,” aku menjawab. Dalam pada itu, Pinky bertutur bahwa Dio di Penjara Kajang mengalami tekanan dan kerap berkelahi. Maklumlah, rekan-rekan satu selnya di Kajang semuanya pemuda belia. Stabilitas emosional mereka rata-rata sangat rendah. Di penjara anak-anak, perkara-perkara sepele sangat berpotensi memicu perkelahian.

“Tenang saja lah. Lawyer bilang kita tak ada kes,” berkata Pinky, menyampaikan berita terbaru padaku bahwa kasus kami telah gugur. Tapi, kupikir, kalaulah kasus yang didakwakan itu gugur, mengapa sampai detik ini kami masih dikurung?

Pinky kemudian menyerahkan mouth-piece di tangannya kepada Freddy, seorang kawan Indonesiaku. Dia orang Jawa, aku pun orang Jawa. Tapi dalam Bahasa Sunda kami berkomunikasi, karena saat ini kami lebih faham Bahasa Sunda ketimbang Bahasa Jawa.

“Bang, kumaha? Damang?” bertanya Freddy tentang keadaanku.

“Mana ada orang sehat di penjara,” jawabku; tertawa kami berdua jadinya. Ini adalah kali pertama aku dapat tertawa selama dalam kurungan.

“Eh, abang kan sudah tidak ada kerja,” bertanya Freddy untuk mendapatkan konfirmasi dariku. Ketika polisi mencidukku, aku sudah tidak lagi bekerja untuk Ray.

“Ya iya lah. Aku udah enggak kerja. Memang enggak ada kerjaan. Tapi aku kan ada di situ,” kataku; “Makanya aku ketangkap juga,” aku menambahkan. Kujelaskan kepadanya bahwa tempat kerjaku sejatinya sudah di kantor baru; di tempat Alex.

“Tapi enggak ada yang mukul atau ngajak berantem kan?” tanya Freddy.

“Enggak lah. Malu mereka kalo mukul orang tua,” kataku; lagi-lagi Freddy tertawa. Kini aku dalam usia yang telah lama melampaui masa-masa dalam mana nafsu berkelahi merupakan sesuatu keniscayaan.

“Aku yakin kok, Bang Iman pasti tabah,” berkata Freddy mencoba memuji. Aku tidak langsung menanggapi karena emosiku menjadi tidak stabil karena pujian itu.

Freddy lantas bercerita tentang betapa ia dan rekan-rekan lainnya kebingungan karena kehilangan kontak dengan kami berlima selama beberapa minggu. Kemudian ia memutuskan untuk mengunjungi tempat kerja kami yang ternyata telah centang perenang. Hanya sekali-sekali aku menyela. Tapi secara umum dia yang pegang kendali dalam pembicaraan kami. Sesekali ia bercanda; canda yang membuatku terhibur. Gaya kocak Freddy dalam berbicara membuatku senang. Tak lupa Freddy memberi tahu bahwa Dio telah ditransfer ke penjara ibu pejabat Kajang; karena di bawah umur. Uniknya, di lokap Dewan-B Blok Ehsan penjara Sungai Buloh tempatku ditahan, ada Raja, seorang anak ingusan bau kencur WN Myanmar. Taksiranku usianya jauh lebih muda dari Dio; tak lebih dari 12 tahun almanak. Kelak ketika kami berjumpa di lokap Mahkamah PJ pada tanggal 6 hari bulan Juni 2007, Dio memberi tahu kami bahwa dia sempat menginap satu minggu di penjara Sungai Buloh sebelum dipindahkan ke Kajang.

Kemudian Freddy bicara serius yang membuat raut mukaku mengerut. Topik yang membuat garis di jidatku melengkung agak menyerupai kumpulan huruf omega besar kecil berlapis-lapis adalah berita tentang kami berlima yang disampaikan kepada keluarga masing-masing di Tanah Air. Disampaikan kepada mereka bahwa kami saat ini berada di Cina untuk kurun waktu yang belum ditetapkan. (Kelak berita ini menjadi bahan gurauan rekan-rekan satu selku – terutama Mamat dan Combat – di lokap Dewan-B, Blok Ehsan). Kukatakan kepada Freddy sebaiknya berita yang disampaikan kepada keluargaku adalah kejadian sesungguhnya yaitu aku ada di penjara. Tetapi ketika kubaca raut wajahnya yang tidak sependapat denganku, aku pun mengalah. Kubilang padanya aku pasrah saja dan menyerahkan perkara itu sepenuhnya di tangan mereka-mereka yang ada di alam bebas. Ia lantas mengusulkan sebuah skenario bahwa kini kami masih berada di Cina dan baru akan kembali setelah tanggal enam bulan Juni 2007; karena boss tengah mengusahakan kami bebas dengan jaminan. Aku menyetujui usul itu meski kubilang, “Di jaman sekarang, dari ujung dunia manapun orang dapat berkomunikasi dengan mudah. Telepon ada di mana-mana. Masak ke Cina saja kami enggak bisa mengontak keluarga. Aneh kan?”

Setelah puas berbicara denganku, kembali Freddy menyerahkan gagang telepon itu kepada Pinky. Kali ini Pinky lebih terdengar memberi arahan kepadaku. “Nanti,” berkata ia memulai arahan, “ you belanja. You harus hati-hati. Belanja tak boleh lebih dari enampuluh ringgit. Beli barang-barang yang perlu sahaja. Sabun, ubat gigi, berus, Maggie (mie instan). Ingat, tak boleh lebih enampuluh ringgit.” Aku hanya berkata oke dan manggut-manggut saja, persis seperti perilaku aparat intelijen Balai Polis Puchong yang cuma bisa manggut-manggut dengan tangan gemetar ketika mendapat perintah dari the big boy via telepon untuk melepas bebas tiga perempuan Cina kawan kerja kami pada tanggal 27 April 2007 yang lalu.

Sebelum menutup pertemuan, Pinky memberi tahu bahwa mereka akan besuk lagi satu minggu ke depan. Gagang telepon diletakkan. Kedua pembesukku beranjak pergi setelah terlebih dahulu melambaikan tangan dan tersenyum. Tak lama berselang, kami telah terpisah secara visual.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar